Perekonomian Bali Mengkerut
Memasuki triwulan II, perekonomian pulau dewata masih mengalami kontraksi alias mengkerut. Bahkan, lebih dalam tinimbang triwulan I yang hanya -1,14 persen. Sedangkan triwulan kedua, -10,98 persen. Gejala kontraksi ini sudah diprediksi sejak pertengahan.
Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati sudah mengumbar prediksi itu sejak Juli lalu. Apabila aktifitas ekonomi tidak digerakkan, maka Bali diambang resesi. Gambaran resesi itu, terjadinya krisis moneter dan kekurangan kebutuhan pangan akibat minimnya uang yang beredar.
Sebelum jauh ke arah itu, Bali mengambil sikap untuk membuka pariwisata sejak 9 Juli lalu, kendati pun hanya menerima kunjungan wisatawan domestik. Pilihan ini tentu tidak mudah. Sebab pada saat yang sama, Bali berpotensi mengalami pelonjakan kasus positif Covid-19.
Solusi yang mengakomodir kepentingan ekonomi dan kesehatan, kuncinya adalah kedisplinan masyarakat dalam melindungi diri dari virus. Itu menjadi tanggung jawab masing-masing diri. Pemerintah memandang bahwa dibukanya aktifitas ekonomi melalui kanal sektor pariwisata dapat memberi efek kejut kepada perekonomian Bali yang sempat istirahat.
Asumsinya, ketika wisatawan berkunjung ke Bali, maka dia akan mengonsumsi dan menggunakan berbagai produk yang ada di Bali. Transaksi itu akan melumasi mesin perekonomian Bali. Jasa mulai bergairah, produk pertanian mulai terserap, dan lapangan kerja mulai tersedia.
Kondisi itu berangsur memengaruhi kestaliban perekonomian Bali. Badan Pusat Statistik Bali menyebutkan Bali saat ini mengalami deflasi sebesar 0,39 persen, lebih dalam dibandingkan dengan deflasi Nasional tercatat sebesar 0,10% (mtm). Deflasi merupakan turunnya harga barang pokok, akibat rendahnya minat belanja masyarakat. Bergeraknya transaksi secara masif, targetnya adalah menekan inflasi, agar perekonomian Bali normal kembali.
Data Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, ada tiga kelompok yang mengalami deflasi. Pertama, makanan bergejolak, inflasi inti dan harga barang yang diatur pemerintah. Kelompok makanan bergejolak mengalami deflasi sebesar -1,37 persen (mtm), lebih dalam dibandingkan dengan Juni 2020 (-0,25 persen, mtm).
Penurunan terdalam berlanjut untuk komoditas bawang merah, daging ayam ras, dan cabai rawit. Turunnya harga bawang merah terjadi karena masih berlangsungnya panen bawang merah di sentra produksi. Selain itu, pasokan cabai rawit melimpah cukup seiring dengan hasil panen yang tinggi.
Kelompok barang inflasi inti mencatat deflasi sebesar -0,11 persen (mtm). Penurunan ini terjadi terutama didorong oleh penurunan harga canang sari dan beberapa komoditas lain seperti air kemasan dan sabun mandi cair. Di sisi lain, harga emas perhiasan masih meningkat sejalan dengan peningkatan harga emas dunia akibat ketidakpastian ekonomi global.
Selain itu, seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru pada bulan Juli, peningkatan biaya pendidikan terutama SD dan SMA turut menyumbang inflasi pada kelompok barang core inflation. Kelompok barang harga barang yang diatur pemerintah mencatat deflasi sebesar -0,63 persen (mtm).
Penurunan tekanan harga pada kelompok ini terutama disebabkan oleh turunnya tarif angkutan udara. Namun penurunan ini tertahan karena adanya kenaikan tarif angkutan antar kota yang meningkat seiring dimulainya normalisasi kegiatan ekonomi.
Terkait komoditas makanan bergejolak, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, IB. Wisnu Ardhana, mengakui hal itu. Hal tersebut akibat sektor pariwisata tidak lagi mesin penyedot yang paling besar. Sementara, produksi petani, nelayan dan kelompok terus berlangsung.
Kondisi yang tak sebanding antara produksi dan konsumsi ini menyebabkan harga komoditas ini turun. Tidak saja turun, beberapa petani menjadikan produknya menjadi pakan ternak. "Saya lihat langsung, petani kol menjadikan produknya jadi pakan sapi. Ya mau gimana lagi, hanya bisa bilang "mohon bersabar"," ujarnya.
Sebagai solusi awal, dia telah mencetuskan inisiatif pasar tani secara berkala. Pedagangnya, petani, nelayan ataupun kelompok. Program itu ia gagas pertama kali di kantornya. Yang dijual adalah makanan pokok. Beras, gula, minyak, daging, telur, sayur dan buah. Langkah ini bertujuan memudahkan petani memasarkan barang, dengan cara mendekatkannya kepada konsumen.
Gerakan ini juga dipandang efektif oleh Gubernur Bali, Wayan Koster. Pasar tani itu kemudian dikemas menjadi Pasar Gotong Royong Krama Bali. Esensinya sama. Hanya saja, kegiatan ini digelar lebih luas, di kantor-kantor Organisasi Perangkat Daerah se-Bali. Koster juga berharap program ini juga digelar instansi vertikal, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta.
Agar ekonomi bergerak, Koster mewajibkan para pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, wajib membelanjakan 10 persen gaji mereka. Nominal setiap transaksi diharapkan proporsional. Sedangkan pihak lain, tidak diwajibkan berbelanja 10 persen dar gaji. Sesuai namanya, gotong royong, gerakan ini sarat makna kebersamaan.
Dengan harapan, uang dapat beredar kembali. Kendati pertanian terbilang anjlok, namun sektor ini teruji untuk bertahan saat masa sulit sekalipun. Oleh sejumlah pejabat, momentum pandemi dipandang tepat untuk menjadikan pertanian sebagai pengembang komoditas pariwisata. Menurut data BPS Bali, ada sejumlah sektor yang turut merasakan krisis.
Dari sisi lapangan usaha, sebagian besar lapangan usaha utama tumbuh negatif, hanya tiga lapangan usaha yang tumbuh positif, yaitu informasi/komunikasi, jasa kesehatan, dan real estate. Sementara itu, sektor transportasi dan penyediaan akomodasi makan dan minum mengalami kontraksi sebesar -39,48 persen dan -33,10%.
Kedua sektor ini sangat erat hubungannya dengan pariwisata dimana menjadi tulang punggung perekonomian Bali, sekitar 58 persen ekonomi Bali tergantung pada pariwisata. Kebutuhan listrik, terutama di hotel-hotel, di masa pandemic ini juga menurun yang menyebabkan sektor listrik, gas, dan air tumbuh -21,04 persen. Hal ini disebabkan oleh kunjungan wisatawan mancanegara yang tumbuh negatif -99,97 persen, yoy pada triwulan laporan.
Hal ini sejalan dengan penutupan penerbangan internasional dari dan ke Bali dalam antisipasi penyebaran Covid-19. Kinerja lapangan usaha tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan antisipasi dan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19. Dari sisi permintaan, semua komponen pengeluaran tumbuh negatif dengan kontraksi terdalam pada komponen ekspor luar negeri -93.02 persen, yoy.
Kinerja ekspor luar negeri yang kontraksi disebabkan oleh penurunan kunjungan wisatawan mancanegara. Selain itu, kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi juga tercatat kontraksi, masing-masing -3.57 persen dan -15,48 persen. Kinerja impor juga terkontraksi sebesar -89.68 persen seiring dengan tertahannya kinerja pariwisata sehingga menurunkan permintaan bahan makanan impor serta adanya tekanan pelemahan nilai tukar rupiah. (*)
Komentar
Posting Komentar