Gara-Gara Dua Tautan : Kisah Inspiratif Wartawan yang Lamban

SEBULAN lalu, saya baru tahu kelemahan dan kondisi kesehatan mental saya. https://satupersen.net/blog/kelemahan-diri-
dan-cara-menerimanya. Seorang sejawat mengirim dua tahutan video yang diunggah di YouTube. Isinya, menurut saya, adalah jalan terang menuju pengembangan diri saya. Tautan pertama berjudul, "Tips Untuk Tetap Fokus" (Meningkatkan Konsentrasi". Tautan kedua, "Cara Untuk Konsisten Dalam Apapun (Trik Jitu Agar Konsisten). 

Dua tautan ini adalah produk dari "Satu Persen". Saat itu, saya belum tertarik mengetahui apa itu "Satu Persen". Justru, yang menarik bagi saya adalah sejawat yang membagikan tautan itu kepada saya, sesaat setelah saya bertanya "Apa resep agar tetap fokus?". Pertanyaan itu, lahir dari kegelisahan saya, yang merasa belum optimal dalam mengembangkan diri, khususnya urusan pekerjaan. 
Mewawancarai tokoh Puri Satria, pada moment Pilgub Bali 2019 lalu. Beliau adalah Cok Rat, dedengkot PDI Perjuangan di Bali.

Dia, Widana namanya, bisa disebut panutan saya untuk urusan kecepatan kerja. Kami bekerja sebagai wartawan. Sebelumnya, kami berdua satu managemen perusahaan media, saya bekerja di media anak perusahaan tempat Widana bekerja, sebelum dia pindah media. Kami sering bertemu saat liputan, khususnya saat liputan rubrik politik. 

Yang saya kagumi, kecepatannya bekerja. Gambarannya, acara selesai, dia sudah bisa hasilkan dua tautan berita. Sedangkan saya, sangat lamban. Liputan pagi, namun mengetiknya mulai sejak siang dan akhirnya dikejar tenggat waktu. Memang, secara ritme kerja, kecepatannya memproduksi berita adalah keharusan, karena dia bekerja di media siber. 
Berjumpa Presiden RI, Ir. Joko Widodo ketika mengunjungi Bali, tepatnya di objek wisata Garuda Wisnu Kencana, Ungasan, Badung, Bali. 
 
Tentu itu membutuhkan kecepatan bekerja, berpikir, dan kreatif. Sedangkan saya, yang masih bekerja di media cetak, bisa ditoleransi hingga pukul 16.00 wita. Tapi, tuntutan agar semakin cepat dapat memproduksi berita sudah terus dipacu oleh redaksi. Cepat, namun tepat dan akurat. 

Melihat kinerja Widana, saya menyimpulkan bahwa dia mampu mengelola fokus. Mampu mengelola emosinya di saat acara berlangsung. Itu juga diperkuat karena dia senior saya, lebih paham mengefektifkan pekerjaan. Itu mendasari pertanyaan saya, tentang apa resep agar tetap bisa fokus. 
Mewawancarai Ketua PHDI Pusat, Wisnu Bawa Tenaya di kawasan Denpasar, Bali. 

Saya pun menyimak dua video yang ia kirim. Pikiran saya terenyuh, kaget saja. Video itu seolah mengajak saya berkunjung ke ruang memori dalam otak saya. Melihat kapasitas dan kondisi memori saya. Setelah menyadari kondisi memori yang selama ini terabaikan, dan tidak pernah dirawat, saya mulai menata diri.

Menyadari segala macam pemicu yang mengganggu kinerja memori saya. Mulai dari mengorek pikiran masa lalu, memeluk kembali perasaan yang selama ini saya abaikan. https://satupersen.net/blog/trust-issues-
bekas-luka-dari-masa-lalu. Kesimpulan saya, banyak hal yang tidak mengenakkan, saya pendam. Kemudian itu yang menjadi kerak-kerak yang menghambat diri saya berkembang. 

Bertemu Agus Harimurti Yudhoyono saat berkunjung di Bali, tepatnya di Kawasan Pulau Serangan.

Saya akhirnya sadar, selama ini porsi waktu saya lebih banyak melayani overthinking,https://satupersen.net/blog/mengatasi-
overthinking, tanpa mengimbanginya dengan instropeksi diri dengan berkunjung ke dalam diri saya. Setelah mengetahui bahwa saya punya satu masalah, ternyata saya menemukan masalah lain yang ikut memicu melemahnya fokus dan membuat saya malas. https://satupersen.net/blog/cara-
menghilangkan-rasa-malas

Salah satunya memaknai trauma dan mengatasinya. Memahami takaran rasa malu, dan cara mengendalikannya. Melalui perjalanan ke dalam, akhirnya saya menemukan kesimpulan, bahwa kondisi buruk ini bukan akhir dari segalanya. Saya sangat bersyukur mendapat kiriman tautan "Satu Persen". 
Mewawancarai Bupati Tabanan, Putu Eka Wiryastuti, saat meninjau pembangunan jalan di kawasan Tabanan. 

Pikiran dan perasaan tak mengenakkan yang dulu tertimbun, akhirnya terilis. Tubuh menjadi ringan, perasaan optimis saya semakin mapan dan membuat saya open mainded. https://satupersen.net/blog/cara-menjadi-
open-minded. Selama hampir seminggu, saya rutin mengikuti video-video mentoring baru yang diproduksi "Satu Persen". Mungkin itu karena saya senang mendapati dunia baru di Satu Persen. 

Walaupun saat itu, saya belum tahu apa manfaat menonton video itu. Ya masih taraf bahagia saja. Minggu kedua, saya merasakan hal yang beda dari diri saya. Tubuh saya hampir selalu bugar setiap bangun pagi. Pada saat rekan kerja mengeluh perekonomian saat pandemi, saya justru lebih sering bersemangat kerja. Saat itulah saya merasakan makna bahagia yang sesungguhnya. https://satupersen.net/blog/artikel-inspiratif-
10-perspektif-kebahagiaan

Mewawancarai mantan Bupati Badung periode 1985-1990, Pande Made Latra, dalam suatu kegiatan di Korem 163/ Wira Satya, Denpasar. 

Mungkin saja, kondisi keuangan saya, situasi keluarga dan kondisi sosial orang berbeda-beda. Bisa jadi, saya juga mengeluh apabila di posisi mereka. Tapi kondisi saya yang bersemangat ini berbeda saya rasakan. Sebelumnya, saya hanya biasa-biasa saja. Bahkan orang menilai saya malas dan lamban, khususnya untuk urusan kerja. 

Saat itu, saya enggan merespon berlebih kondisi itu. Saya menduga itu karena kebetulan saja. Sebab emosi itu kan dinamis, bisa berubah-ubah. Liputan harian pun saya jalani seperti biasa. Saya juga kerap berjumpa Widana. Tapi saya baru sadar, kinerja saya semakin cepat. 
Berbincang bersama Tetua Puri Pemecutan, tentang nasionalisme dan kerukunan di Bali. 

Produktifitas saya membuat berita dan tulisan cukup meningkat. Selain menulis di media massa, saya juga iseng membuat blog untuk media menulis. Selain produktifitas itu saya ikut dari kecepatan. Walaupun tidak secepat Widana, saya menilai diri saya lebih cepat dibanding sebelumnya. 

Itu semakin saya sadari pada hari-hari berikutnya. Saya juga sempat menguji diri, sengaja membuktikan apakah benar saya semakin cepat. Dan ternyata benar. Ide itu cukup encer, dan bisa saya rilis lebih cepat dari sebelumnya. Menurut saya, setelah dibaca, tidak jauh melenceng dari kualitas sebelumnya. 
Usai wawancara bersama Bupati Klungkung, Nyoman Suwirta, di Pusat Kebudayaan Provinsi Bali. 

Kemudian saya sadar. Ini benar-benar perubahan. Saya sangat merasakan perbedaan, dari sebelum berkunjung ke dalam diri bersama "Satu Persen" dan sesudahnya. Ini membuat saya hidup seutuhnya. Sebab selama ini, urusan pekerjaan yang membuat saya terkungkung penyesalan. 

Mengapa saya lamban? Mengapa kualitas berita saya buruk? Kenapa sulit sekali memutuskan ide? Pertanyaan besar itu yang muncul selama ini. Satu persatu pun kini dijawab oleh "Satu Persen". Selain menyelesaikan kegelisahan soal kinerja saya, kini saya juga belajar mengembangkan diri. (*)

Mengenali potensi diri

MELIHAT garapan "Satu Persen" lewat video mentoring, saya bisa membaca bahwa tim kreatif di balik layar bukanlah orang sembarang. Ulasan yang dipublikasikan diperkuat dengan saint dan juga pengalaman mentor. Tema-tema yang disajikan juga menyesuaikan dengan kebutuhan umum, dan ini bukanlah pekerjaan mudah. 
Silaturahmi bersama mantan Pangdam IX/ Udayana, Mayjen TNI Benny Susianto, di rumah jabatannya, di Denpasar. 

Menjadikan itu motivasi, saya jadi ingin mengenali potensi diri. https://satupersen.net/blog/self-esteem-
kenali-diri-untuk-gali-potensi. Saya sedang menggali, apa yang bisa saya lakukan dengan kesenangan menulis ini. Dengan cara ini, saya merasa menjadi hidup seutuhnya. Bekerja, bekreasi dan mengabdi melalui kesenangan saya menulis. Namun saya sadari durasi satu bulan belum membuat saya matang. 

Saya butuh banyak belajar dari pengalaman dan media lainnya, seperti "Satu Persen". Namun saya sudah cukup bangga, berani bermimpi dan itu akan saya jadikan motivasi diri dan lingkungan. Terimakasih Tuhan, terimakasih orang tua, keluarga dan terimakasih "Satu Persen", yang telah membuat saya hidup seutuhnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perekonomian Bali Mengkerut

Bandeng Lezat Ala Warung Digital Sukasari

Awalnya Bukan Penulis