Awalnya Bukan Penulis


Hah. Akhirnya. Saya bisa menulis di blog pribadi. Lega sekali. Ini berkat saran seorang pakar informasi dan teknologi, yang juga senior saya di tempat kerja. Di sebuah media massa lokal. Cukup besar. 

Nama saya Wira. Saat ini berusia 28 tahun. Di usia ini, anak sudah dua. Istri tetap satu. 10 tahun lalu, 2010 silam, saya menamatkan pendidikan di SMK Negeri 1 Denpasar. Sekolah primadona di kalangan sekolah kejuruan di Denpasar, kala itu.

Sekolahnya respresentatif. Saya memilih jurusan Audio Video (AV). Mempelajari audio dari bahan dasar, merakit, memodifikasi. Pilihan untuk sekolah ke jurusan ini bukan sepenuhnya dari saya. 50 persen titipan orang tua. 

Sekolahnya lancar-lancar saja. Urusan nakal-nakalan, kadar saya terbilang standar. Tidak menonjol sekali. Urusan akademis juga begitu. Kalau urusan pacaran, ya masih normal-normal saja. Maksudnya, biasa-biasa saja, tidak begitu banyak pengalaman. 

Ya maklum. Saya itu kelas AV I. Jumlah siswa laki-lakinya 42. Perempuannya nihil. Hanya, pengalaman menghadapi masalah keluarga cukup dalam. Saat itu, almarhum bapak ditipu orang. Singkat cerita, bapak yang dipandang paling bertanggungjawab atas perbuatan teman baiknya itu.

Masalah ini sempat bikin saya bingung menentukan sikap. Keluarga kecil saya dihadapkan pilihan-pilihan paling buruk. Kalau tidak jatuh miskin, ya jatuh sakit. Situasi tidak mengenakkan itu bikin saya beban. Sekolah mulai tak karuan. 

Mikir orang tua yang terus diancam. Menemani bapak ketemu saudara dan temannya yang jadi Polisi. Kepentingannya konsultasi bagaimana penyelesaian masalah. Situasi ini berlangsung lama. Seingat saya hampir dua tahun.

Saya, adik perempuan saya, makin besar. Kami mulai sering termenung. Mengapa jadi begini? Kami sempat terseok-seok. Ekonomi, psikologi dan sosial. Oh ya, saat itu bapak juga sempat menempuh jalur alternatif. Mencari peramal tradisional. Ini biasa dilakukan oleh warga Bali.

Salah satu hasilnya, bapak diminta menjadi juru umat di pura keluarga. Saya baru tahu, bahwa sebelumnya petunjuk itu sudah sering diterima bapak setiap bertanya kepada orang pintar. Tapi sebelumnya bapak tidak pernah mau. 

Dia sadar diri akan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Punya dua anak yang harus dibesarkan. Punya istri yang harus diayomi. Setelah bertanya kepada orang pintar untuk terkahirnya, suasana di rumah kami membaik. Bapak mulai bekerja. Sebagai pedagang rempah keliling. Juga barang apa saja yang diminta. 

Itu setelah bapak akhirnya menanggungjawabi penipuan yang dilakukan teman baiknya itu. Pak Wayan namanya. Bapak membayar Rp. 150 ribu per bulan kepada seorang yang ditipu Pak Wayan. Saya ingat. Itu waktu saya kelas III SMK. Saya mulai bisa menangis. Iba dengan bapak. Sadar ini bukan hal mudah. 

Selain harus menyisihkan uang untuk korban penipuan temannya, dia juga harus mengakui kesalahan yang bukan dia lakukan. Hati saya lirih. Melihat sobekan kuitansi tanda bayar bapak ke orang itu. Namanya Nengah. Dia salah satu yang pernah ngamuk di rumah kami. Memukul pintu. Menuding ibu. 

Dihadapkan dengan desakan itu. Saya mulai terlatih untuk sadar diri. Keinginan remaja di usia saya saat itu adalah ponsel kamera. Jaman itu BB baru muncul. Sebelumnya, saat SMP, ponsel saya polyponik. Bapak saat itu akhirnya bisa membelikan saya BB seri gemini. Warnanya hitam.

Yang pertama saya pikirkan saat itu adalah bagaimana ponsel ini bisa cari uang. Setidaknya untuk beli pulsa. Alam bawah sadar saya bangkit. Pikiran saya tertuju untuk memasarkan produk yang dijual bapak. 

Apa saja. Mulai dari sabun cuci, parfum botol, jamur tiram. Saya juga sempat jualan pulsa. Lumayan lancar. Transaksinya aktif. Saya bisa mandiri untuk sekadar bekal. Kalau teman sebaya saya nongkrong, saya jualan. Kirim barang bapak. Atau beli saldo pulsa.

Bukan saya tak peduli masa remaja saya. Saya tidak iri dengan teman yang bisa bebas bergaul. Mau kemana saja. Kapan saja. Saya justru sibuk merawat semangat jualan. Tahun 2010 saya tamat SMK. Tidak berkesan. Karena pikiran saya tersita kepada bapak. 

Sekali lagi, bapak sosok yang penuh tanggungjawab. Dia tidak mau saya kehilangan semangat. Godaan bekerja tinimbang kuliah tentu besar. Saya pastinya memilih bekerja. Tapi bapak tidak setuju. "Kamu harus kuliah. Bapak boleh SMEA, tapi kamu harus sarjana," kata dia.

Bapak berusaha cari jalan keluar. Dia minta tolong kepada seorang guru yang juga wartawan media lokal di Denpasar. Rumahnya besar. Punya koperasi. Temannya banyak. Istrinya dosen. Bapak kembali membungkukkan kepalanya. Datang ke rumah wartawan itu. 

Dia menitipkan saya disana untuk dibimbing. Saya di terima. Diminta sering-sering ke sana. Tujuannya dia mau mengenal kepribadian saya. Dia teman seangkan ibu saya. Dia bilang ibu saya dulu tidak pintar. 

Sebulan berjalan. Hampir setiap hari saya kesana. Dibonceng bapak, atau naik sepeda. Di sana, saya enak. Menikmati fasilitas rumah gedongan. Saya mulai diberi tugas. Belanja. Kasi makan anjing. Cuci motor. Kuras septiteng. 

Paling senang itu saat diminta belanja, terus ada kembalian. "Ambil saja,". Kata itu sering saya dengar. Tapi saya pernah dimarah. Gara-gara tidak kesana. Saya jenuh, saat itu ingin istirahat. Seiring waktu, wartawan itu, Pak De namanya, mulai  mengenal saya. 

Saya dibujuk untuk kuliah, ambil jurusan matematika. Biayanya kredit di koperasi miliknya. Supaya bisa bayar, saya direkomendasikan di perusahaan media tempatnya bekerja. Denpasar Post namanya. Dia ingin saya ikut jejaknya, jadi guru dan juga wartawan. 


Saya mengadu ke bapak. Saya tidak mau kuliah. Saya tidak mampu. Bapak bilang saya harus mencoba. Mumpung ada yang memberi kesempatan. Banyak orang yang ingin kuliah tapi tidak mampu. Sedangkan saya dihampiri kesempatan. 

Ok. Saya setuju. Semua tahapan dimulai. Saya ospek. Sambil bekerja. Saya berkerja ditempatkan sebagai penata halaman koran. Setiap orang kebagian dua halaman. Pekerja yang tidak pernah saya bayangkan. Seiring waktu, keduanya berjalan selaras. 

Pagi kuliah, sore kerja. Begitu selama dua tahun. Di kampus, saya mudah bersosialisasi. Rata-rata seusia. Tapi di tempat kerja, saya kesulitan. Para penata halaman lainnya sebagian besar orangnya tidak muda. Karena dunia itu baru bagi saya, saya banyak tanya. 

Sampai saya dengar ada kalimat, "begini kalau tenaga titipan. Tidak bisa diandalkan". Saya terpukul. Kaget. Marah. Campur aduklah. Saya telah saja suara itu. Pak Made, penata halaman senior tidak peduli saya orang titipan atau apalah. Dia senang kalau saya mau belajar. 

Memang, beberapa kali saya lakukan kesalah fatal. Misalnya tidak mengganti tanggal sesuai terbitan besoknya. Sadar diri serba kurang. Saya mungkin pegawai yang paling rajin minta maaf. Kondisi itu saya bilang sama bapak. Dia cuman senyum saja. Sambil bilang "kerja dimana saja juga sama". 

Waktu bergulir. Saya ingin memacu diri. Saya bilang sama Pak Made. "Semua teman disini punya skil, pak. Saya juga harus punya". "Ya pelan-pelan", katanya. Lagi-lagi memori alam bawah sadar saya bangkit. Saya ingat, sewaktu SD, saya suka mengarang. Setiap pelajar mengarang, nilai saya tidak pernah jelek. 

Kalau ukurannya universitas, nilai saya A. Sembari mengingat bakat itu. Saya mencari topik paling dekat. Kebetulan, saat itu saya sedang gemar berolahraga. Saya tergabung di Satuan Latihan Tarung Derajat "Gita". Lokasinya di Panjer, Denpasar Selatan. 

Pelatihnya, Kang Gede. Pria kekar asal Buleleng. Dialah sosok pertama yang saya wawancarai. Dibuat jadi tulisan profil. Lumayan panjang, 1500 karakter kata. Dia senang sekali. Saya selalu jadi sorotannya saat latihan. Saya pun semakin dekat dan sering bercerita. 

Dari sekian kali wawancara, yang paling berkesan bagi saya adalah ketika dia berkaca-kaca membaca berita saya. Saat itu, saya buat profil untuk kado ulang tahunnya. Saya menarik topik soal kisahnya dari seorang pria kampung, bisa tenar di Denpasar dengan bakat bela dirinya itu. 

Sampai dia bilang, kalau ada yang ganggu saya, dia ada di posisi paling depan untuk membela. Begitu pesannya. Saya sempat berpikir. Kalau bapak saya dicari sama orang lagi, bahkan ngancam, dia adalah orang pertama yang saya hubungi. Tapi itu tidak pernah terjadi. 

Saya semakin asik bekerja. Konsep kuliah sambil bekerja berbalik menjadi bekerja sambil kuliah. Saya mulai menyukai menulis. Saya mulai wawancara sosok lainnya. Artis Bali seperti penyanyi, seniman, band dan lainnya. Saat itu, saya diberikan kesempatan menulis di bidang yang tidak bersinggungan dengan hukum. 

Tepat tahun 2013. Itu masa keemasan saya untuk urusan ekonomi. Sumber uangnya jelas. Dapat gaji. Berita saya dibayar pula, karena saat itu menulis sebagai kontributor. Saya juga itu masih bujang. Pak Made, senior saya di divisi tata letak koran menyarankan supaya saya pindah divisi. Sepenuhnya jadi wartawan. Saya tidak mau. 

Saya takut tidak kerasan. Karena saya tahu, didikan wartawan di media itu keras. Keras sekali. Tidak bawa berita, jangan ke kantor. Salah dikit, disemprot. Belum lagi intimidasi di lapangan. Ya biasa lah. Tulisan saya tidak bisa memuaskan semua pihak. Sejak saat itu. Saya rutin menulis setiap hari. (*)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandeng Lezat Ala Warung Digital Sukasari

Pandemi dan Maraknya Aksi Berbagi